RAIN
Oleh. Hamidatul Fathiah
Aku pacaran sudah setahun lamanya, aku sangat bahagia memiliki dia dihidupku. Dia sangat baik dan menyenangkan. Akhir-akhir ini, dia berubah. Mungkin karena sifatku yang temperamental, dan kadang egois. Dia begitu sabar bersamaku, menjagaku dan mencintaiku. Tapi... untuk kali ini aku ragu kepadanya. Entah apa yang membuat aku ragu, namun perasaan itu memang ada dan tidak dapat aku pungkiri semua. Aku tak ingin bersifat munafik. Sebab... kemunafikan seseorang terhadap perasaannya akan menyakiti dirinya sendiri lebih dari disakiti oleh orang lain. karena, munafik akan menimbulkan penyesalan dalam hati, terus menerus dan akan membuat seseorang itu depresi apabila tak dapat melupakan perasaannya. Yang ada hanya mengharapkan dia untuk kembali pada kita terus. Dan aku tak mau, sebab aku takkan menjilat ludah yang telah aku buang. Itu intinya. Hari ini... kami bertengkar. Entah apa masalahnya, hingga membuat dia menjauh dariku. Aku coba tuk tenangkan diri, agar aku tak menjadi orang munafik karena mengambil keputusan seenaknya. Aku mencoba berubah menjadi lebih sabar menghadapi dia. Seorang lelaki idaman semua wanita, dan aku hanya sebagian kecil pengagumnya yang mendapatkan kesempatan oleh Tuhan untuk memilikinya. Aku coba untuk mengalah kali ini, sebab aku tak mengetahui penyebab dia marah dan ngambek padaku. Aku pun menelponnya.
“ hai, apa kabar?.” basa basiku padanya di telpon.
“ kabarnya gak baik.” ucapnya dengan nada jutek. Aku bingung harus berkata apa lagi, aku tak biasa mengalah dengan ego ku. Karena biasanya jika dia marah, dia yang menelponku dan minta maaf. Tapi kini dia tak melakukan itu, hingga aku yang harus melakukannya.
“ ada apa telpon?.” tanyanya kemudian.
“ engggg... gak ada apa-apa sih.” ucapku dengan penuh bingung. Aku terus berkata dalam hati, kenapa aku begitu bodoh hanya karena aku mengalah. Apa aku harus terus diam seperti ini? Apa yang harus aku katakan. Meminta maaf atau menutup telponnya? Karena aku rasa suasana hatinya sedang tidak enak dan aku pun tidak bisa berpikir karenanya.
“ kalau gak ada urusan, yaudah.” ucapnya seolah menyuruhku untuk menyudahi hubungan telpon kami.
“ yaudah apanya?.” tanyaku.
“ yaudah telponnya udahan.” ucapnya seolah benar-benar muak padaku. Oh Tuhan.. apa yang harus aku katakan padanya. Aku bingung dan sungguh tak tau harus apa lagi. Dasaarr!! aku terus menyalahkan diri ini dalam hati. Mengapa aku begitu keras dalam merasakan perasaannya dan keinginannya.
“ lagi sibuk ya? Sampai gak mau ditelpon sama aku.” ujarku dengan nada lirih.
“ iya.” jawabnya singkat. Terasa ada petir menyambar hatiku, entah mengapa menyakitkan sekali kata-kata itu. Oh Tuhan...
“ yaudah maaf udah ganggu.” ucapku kemudian menutup hubungan telpon kami, tanpa menunggu jawaban dari dia. Sebab aku rasa dia akan menjawab hal yang sama. Aku mematikan handphone ku dan keluar dari kamar mencari mamahku. Namun beliau tidak ada. Mungkin sedang pergi. Aku bete, dan bingung harus cerita pada siapa. Aku pun pergi ke pantai, sejenak membebaskan perasaanku dari jerat yang menyesakkan dada ini. aku berjalan kaki kedepan rumah dan menyetop taksi. Pergi dengan kekesalan, dan sesak dalam dada ini. Tuhan... aku ingin sekali menangis. Namun kenapa ada perasaan dalam hati yang membendung semua air mata ini untuk jatuh. Sesampainya di laut, aku berjalan mengelilingi pantai. Dan duduk-duduk di pasir seraya aku putus asa harus bagaimana menenangkan hati ini. Aku ingin menangis, ucapku dalam hati. Aku tidak dapat menyelesaikan masalahku, padahal hanya dengan kata maaf mampu selesaikan semuanya. Tapi... sekarang terserahlah aku bingung harus bagaimana. Berjam-jam aku disana seperti orang hilang dan tersesat tak tau arah pulang.
“ Andinia!!.” seseorang memanggilku, namun aku tak tau siapa dan dari mana datangnya panggilan itu.
Aku mencari-cari namun tak ada seorang pun yang aku kenali disana. Disini sangat sepi, cuma ada aku dan petugas bersih-bersih lainnya. Aku beranjak ingin pergi, karena hari pun sudah larut malam untuk aku jelajahi seoarng diri kemudian seseorang mengahampiri aku dan menepuk pundakku. Aku begitu takut, oh Tuhan. Siapa orang ini. Aku takut...
“ kemana aja sih. Dicariin tau, udah gitu ditelpon nomornya gak aktif.” ujar orang itu, aku tak berani menoleh apadanya. Aku begitu takut.
“ hehh... diem aja!!.” ucapnya kemudian. Aku bingung harus bagaimana mengatasi ketakutan ini. Hingga aku rasa air mata ini mulai menetes.
“diem aja sih, ini aku Themy.” ujarnya. Mendengarnya menyebutkan nama, aku menoleh dan memeluknya. Oh Tuhan, ternyata dia mencariku.
“ aku kira kamu udah benci dan gak mau aku ganggu lagi.” ucapku dengan isak tangis.
“ kenapa? Kok nangis sih?.” ujarnya tak menjawab tanyaku.
“ aku takut, aku takut.” ucapku berulang kali.
“ tenang aja ada aku, jadi gak usah takut.” ucapnya. Kemudian kami berdua duduk di pinggir pantai. Sambil menikmati panorama malam yang begitu indah terasa. Lampu-lampu kapal yang berlayar malam itu, seolah-olah kumpulan bintang yang menyinari kegelapan.
“ soal tadi pagi, dan masalah yang kemarin.” ujarnya membuka pembicaraan.
“ iya kenapa emangnya?.” jawabku santai namun seolah mendesak ia mengatakan inti masalah itu.
“ maaf aku udah marah dan ngambek sama kamu.” ucapnya, sambil menggengam tanganku.
“ gak apa-apa kok:) aku udah biasa kamu marah-marah kayak gitu sama aku.” ujarku dengan senyuman dan menatap kedalam matanya.
“ bukannya terbalik ya? Kan selama ini kamu yang suka marah-marah gak jelas, ngambek gak jelas. Tiba-tiba udah gak bales pesan aku nd ngerijek telpon aku.” ujarnya membela diri.
“ iya.. itu kan waktu itu. Akhir-akhir ini kan kamu yang suka marah-marah sama aku.” ucapku tak mau kalah.
“ iya juga sih..?” ucapnya mengalah dengan pernyataanku yang memang nyata terjadi antara hubungan kami.
“ ya terus kenapa?.” tanyaku. Rupanya pertanyaanku membuatnya bingung.
“ kenapa apanya?.” tanya nya balik.
“ ya kenapa akhir-akhir ini kamu berubah sikap sama aku. Udah gitu jarang telpon, dan sms aku. Kenapa?.” tanyaku lebih jelas.
“emmppp...” dia bingung.
“ ya kenapa. Kok cuma diam?? ditambah marah-marah gak jelas. Kenapa?.” sambungku mendetilkan pertanyaan.
“ kalau soal aku jarang sms dan telpon kamu. Itu karena aku sibuk sayang.” ujarnya.
“ terus??.” tanyaku kemudian.
“ terus apanya sih?.” tanya nya seolah pura-pura gak ngerti pertanyaanku yang lainnya.
“ terus.. kenapa kamu jadi suka marah-marah sama aku?.” ujarku mengulang pertanyaan.
“ yakin mau tau?.” tanya nya membuatku penasaran.
“ ya jelas lah.. aku mau tau. Emang gak boleh ya? Yaudah kalau gak boleh. Bodo.” ambekku.
“ ihh ngambek mulu sih chii...” ucapnya dengan panggilan sayangnya padaku.
“ bodo amatan akh. Cape nanya sama kamu mah. Pura-pura oneng terus.” ujarku dengan raut wajah cemberut.
“ iyyahh, maaf. Kamu mau tau?kenapa aku suka marah-marah sama kamu?...” ujarny sambil menoleh kepadaku dan melihatku menganggukkan kepala dengan seribu tanda tanya di atas kepalaku.
“ aku suka marah-marah sama kamu. Karena... kamu tuh gak ada inisiatif buat telpon dan sms aku. Udah gitu. Kalau aku buka facebook kamu, cowok-cowok yang ngejar-ngejar kamu selalu ngirim pesan ke facebook kamu. Dengan panggilan sayang mereka ke kamu. Aku gak suka.” jelasnya. Aku hanya terdiam dengan seribu tanda tanya. Diam melihat raut wajahnya ketika menjelaskan itu dan terdiam menatap matanya yang menunjukan betapa hati cemburu dan membara. Aku benar-benar terdiam, kemudian dengan sigap dan cepat dia mencium bibirku. Tak lama, karena aku tersadar diri ini sudah berada didalam pelukannya.
“ ihh!! kamu.” ujarku sambil mencubit lengannya.
“ kenapa sayang?.” tanyanya padaku sambil terus membelai rambutku.
“ aku gak suka dicium tau.” ujarku, kemudian ngambek.
“ tuhh kan.. ngambek lagi. Emang gak boleh yahh?.” tanyanya padaku dengan tatapan begitu teduh.
“ gak boleh!!.” tegasku sambil melepas rangkulannya.
“ yaudah deh kalau gak boleh.” ujarnya kemudian berpaling menatap laut yang terus bergemuruh.
Keadaan menjadi diam membeku. Aku dan dia tak saling bicara. Oh Tuhan... apa salah jika aku gak suka dia menciumku? Aku risih. Sumpah. Tapi mengapa ada perasaan dihati ini untuk memintanya kembali menciumku? Gak boleh. Gak boleh. Gak boleh. Keluhku dalam hati ini. Ku menoleh kepadanya, disana hanya ada tatapan kosong dari sinar matanya yang terus menatap laut.
“ sayang kamu marah lagi yaa? Sama aku?.” ujarku memberikan pertanyaan, sambil menggenggam tangannya.
“ aku gak marah kok. justru aku senang kamu gak suka dicium. Berarti selama ini kamu terus menjaga semua itu untuk suami kamu. Maafin aku ya. Aku gak akan begitu lagi.” ucapnya, memberi kejelasan pada pertanyaan ku.
“ iya gak apa-apa kok. Aku tau, selama ini kamu juga sabar sama aku. Setahun sudah. Yaa.. aku mengerti keinginanmu yang satu itu. Maafkan aku juga ya.. aku suka marah-marah sama kamu.” ucapku. Entah apa yang mendorongku untuk berkata itu. Namun tak terduga semua itu terucap dari dalam hatiku.
“ aku mau bicara sesuatu sama kamu, serius.” ujarnya menoleh padaku. Dan menatapku hingga kedalam hatiku. Sepertinya dia memang mau bicara serius, ku ubah raut wajahku seserius mungkin.
“ tapi raut wajahnya bisa biasa aja kan sayang??.” ujarnya dengan raut wajah menahan tawa.
“ kenapa memangnya?.” tanyaku dengan kebingungan. Padahal aku hanya ingin serius. Tapi... dia malah seperti itu. Jadi bingung.
“ ya.. kalau kayak gitu. Kamu lucu.” ujarnya melepas tawanya hingga terbahak-bahak.
“ lucu dimananya sih chii??.” tanyaku lagi.
“ kamu seperti kebelet poopy. Kalau kayak gitu..” ujarnya sambil berusaha menahan tawa, dan terlepas.
“ ahh kamu.” ujarku sambil ikut tersenyum.
“ sekarang serius yahh..?.” ujarnya, dan aku mengangguk.
“ aku mau serius sama hubungan kita. Aku mau kamu jadi pendamping hidup aku. Aku sayang sama kamu. Aku sangat menginginkan kamu jadi bagian hidup aku sampai aku mati.” ujarnya. Aku menatapnya, mencari keseriusan di matanya. Mencoba merasakan getaran hatinya. Aku tersipu malu. Tapi aku sangat bahagia.
“ iya aku mau kok sayang, jadi pendamping hidup kamu.” ujarku dan dia menggengam tanganku.
“ tapii...” ujarnya sambil menatap mataku dan mencari keseriusan. Aku terdiam dengan penuh tanya. Tapi apa? Tapi apa lagi? Aku bingung.
“ tapii... aku akan ke Amerika untuk menyelesaikan studi ku dan menulis skripsi untuk kelulusanku. Aku mau kamu bersabar menanti aku, aku mau kamu menjaga hati kamu hanya untuk aku. Cuma aku.” ujarnya. Aku diam dan meneteskan air mata.
“ ya. Aku kan menanti kamu sayang.” ucapku sambil terus meneteskan air mata ini yang kian menderas jatuh dipipiku. Kemudian dia memelukku, dan menyediakan pundaknya untuk aku menangis. Tak terasa matahari pun terbit, kami bersama sampai pagi di pinggir pantai. menikmati laut yang terus bergemuruh dan mengombak menggulung pasir putih yang seolah menari. Aku sangat bahagia ya Tuhan. Seketika kecurigaanku hilang sirna. Kami pulang kerumah, ia mengantarku. Dan aku segera pergi mandi dan tidur. Dia pulang stelah memastikan aku baik-baik saja. Dan mengirim pesan. “aku sayang kamu” itu katanya. Aku begitu bahagia. Dan terlelap dalam tidurku.
Tak terasa sore pun hadir disela hariku. Matahari yang tadinya kulihat terbit begitu indah menyinari. Kini kembali terbenam tenggelam bersama kebahagiaanku pagi ini. Besok... Themy berangkat ke Amerika. Malam ini adalah malam terakhir aku bertemu dengannya. Aku pergi kerumahnya, disana dia sedang sibuk membereskan barang-barang bawaanya. Aku membantunya merapihkan semua barang bawaannya. Tak tau mengapa air mata ini keluar. Seolah semua ini adalah hari perpisahan kita untuk selamanya. Dia melihat air mataku terus mengalir pun langsung memelukku. Dan berjanji akan kembali melamarku. Tanpa mengurangi rasa cinta dan sayang dihatinya untukku. Setelah semua beres, aku pun pulang dan dia mengantarkanku sampai kedepan pintu rumahku. Aku sangat mencintainya oh Tuhan. Jangan ambil dia sama seperti kau mengambil orang-orang yang kucintai dulu.
Aku masuk kekamar setelah menyapa papah mamah diruang keluarga. Kemudian membuka laptop dan mengupload fotoku bersamanya di facebook. Dan ngelike semua status diberandaku. Kemudian menulis status “ selamnya aku mencintaimu. Semoga Tuhan mempersatukan aku dan kamu ” kemudian log out dan menyiapkan baju untuk besok aku sekolah.
Malam seolah tak dapat berlama-lama didalam hidupku. Tak membiarkan aku terus menggalau dan bersedih mengantar keberangkatannya hari ini. Sang mentari pun tak tersenyum pagi ini, awan mendung. Kemudian gerimis pun turun. Aku berangkat ke sekolah dengan hati yang begitu pedih seolah luka menggores dalam lubuk hatiku. Aku pun mendapatkan pesan darinya sejam setelah pelajaran pertama selesai. Dia telah take off tadi pagi. Dan aku tak mengucapkan kata-kata terakhir atau pesan padanya. Tapi yasudahlah.. aku akan mengirimnya lewat pesan di facebook.
Sebulan sudah dia berada disana, sepi sekali rasanya tak ada dia disini. Terus memantapkan hati ini ketika ragu dan curiga datang menghampiri. Dia jarang mengabari padaku. Mungkin karena sibuk. Namun akhir-akhir ini entah mengapa aku menjadi galau dan tak tenang karena dia akrab dengan seorang wanita yang juga studi disana, Bernama Alice. Apa dia orang ketiga diantara hubungan kami? Aku pun menambahkan Alice menjadi temanku. Namun hingga sekarang dia tak mengkonfirm. Aku bingung. Ada apa? Aku terus bertanya-tanya. Kemudian aku mengirim pesan pada Themy sekedar mengingatkan semua janjinya padaku. Namun, tak kunjung ia membalasku. Hingga dua hari pun berlalu. Ku putuskan untuk membuka facebook milik Themy, dan kudapatkan ia sedang bermesra-mesraan dengan Alice lewat pesan. Oh Tuhan. Seolah petir kembali menyambar hatiku hingga gemetar terasa badanku. Pesanku di abaikan olehnya? Oh Tuhan... aku kembali menutup facebooknya dan membuka kembali facebookku dengan tergesa-gesa hingga aku memasukan password yang salah terus menerus. Aku kesal dan membanting handphone hingga hancur. Kemudian menangis diatas tempat tidur dengan raut wajah yang begitu gerang. Aku sangat kesal, hingga membuat hati ini sakit. TUHAN... BANTU AKU. APA YANG HARUSNYA AKU LAKUKAN. Teriak hatiku begitu pedih menahan gejolak dalam dada. Aku disini setia menjaga hatiku hanya untuknya. Tak lagi menanggapi laki-laki yang terus menggodaku. Tapi kenapa seolah aku juga disalahkan dalam kehidupan ini. Dan mengapa aku juga harus menanggung perih dihati ini. Aku pun mengirim pesan padanya. Menjelaskan bagaimana hubungan kita. Dan memintanya meninggalkan aku dan melupakan aku bila ia telah bosan bersamaku. Aku tak ingin seperti ini, hampir sebulan juga dia terus menggantungku. Aku tak tahan. Benar-benar tak tahan. Aku terus memaki dirinya lewat status facebookku. Dan mengacuhkan semua orang yang bertanya-tanya akan sikapku. Mungkin hubungan kita telah putus, dan berakhir. Hanya sesal dalam dadaku karena telah mencintainya. Disisi lain aku menyadari, akulah penyebab dia pergi meninggalkan aku. Aku pun tetap menjaga hatiku hanya untuknya. Setia padanya, meski diantara kami belum ada kesepakatan untuk putus dan mengakhiri lukisan permadani indah yang kami berdua rancang untuk kehidupan kami nanti. Semua hancur, rusak, dan menyakiti aku. hingga luka begitu perih ku rasa dalam batinku. Dan aku terus bersabar. Aku sadari semua ini membuatku terpuruk, aku pun berusaha bangkit. Hingga aku lulus sekolah. Dan akhirnya melanjutkan ke perguruan tinggi.
Hari ini sepupunya, Eza bilang. Bahwa dia pulang dari Amerika. Dan aku hanya bisa menangis saat ini. Aku tak ingin melihatnya. Aku bertekad untuk melupakannya, dan menutup hatiku untuk siapa pun. Aku pun kembali ketempat kenangan, saat pertama kali kami berdua berjumpa dan saling jatuh hati. Sambil menelusuri tempat kenangan itu. Aku mengambil tempat duduk dan memesan minuman kesukaannya disebuah kafe yang sering kami datangi waktu lalu. Sambil terus menekuk keceriaanku. Aku mengingat semua kenangan waktu ia menjemputku hujan-hujan. Hingga demam seluruh badannya. Mengingat semua kenangan di bulan desember tahun lalu hingga saat terakhir ia mengucapkan janjinya padaku. Gemuruh hujan terus menggelegar mengusik ketenanganku malam ini. Hujan pun turun, dan aku pun memutuskan untuk pulang. Sambil menunggu taksi hujan-hujan. Aku membayangkan dia datang menjemputku dan meminta maaf padaku atas sikapnya seperti yang telah berlalu. Kemudian, aku mendengar suara ketika kami tertawa bersama, aku dan dia. Bercanda di tengah deras hujan. Namun... itu bukan anganku. Ke menoleh dari tatapan kosong ini kerah suara itu. Dan ku melihat Themy sedang bersama wanita lain, bermesraan ditengah hujan sama persis kala aku bersamanya. Serentak ia melihatku dan terdiam, begitupun wanita itu. Aku menghampirinya dengan tangisan pilu. Sambil berkata “ selamat ya. Semoga kalian berdua bahagia” ujarku kemudian pergi. Dia menarik lenganku, dan mencoba menjelaskan semua ini. Dan aku terus memotong penjelasannya. Bahwa aku selama ini masih setia menjaga hatiku sama seperti janji yang terucap dulu. Aku masih terus menepati janji itu. Hingga kenyataan semua ini berkata aku harus mengakhiri hati ini untuk tetap setia padanya. Hujan menyaksikan betapa aku kala itu benar-benar terjatuh dari anganku yang telah ia gantung diatas awan. Aku menangis, benar-benar menangis hingga tersedat-sedat nafas ini. Dan aku tak sanggup lagi untuk menatap matanya. Yang berkata bahwa ia sudah tak mencintaiku lagi. Aku berlari, dan tanpa tersadari kini aku sudah berbaring dirumah sakit. Kudengar mamah dan papah terus memanggil namaku dan memintaku untuk membuka mataku. Namun aku tak ingin hidup setelah menerima kenyataan ini. Tapi.. dihatiku merasa iba dan kasihan mendengar tangisan seorang ibu yang sangat menyayangi aku. Ku pun berusaha membuka mata ini kembali.
Ku lihat papah mamah sangat mengkhawatirkan aku, sehingga tetesan air mata mamah kurasa mengenai kelopak mataku. Dan seulas senyuman terukir dibibir mereka setelah tau aku masih hidup. Mereka mengatakan aku telah diselamatkan oleh Themy dan sekarang Themy juga berbaring diruang yang berbeda. Aku memaksakan keadaanku yang tak terlalu parah, dan menangis. Mengingat Tuhan telah mengambil semua orang yang dulu aku cintai. Alm Rangga juga alm. Rama. Aku tak ingin Tuhan kembali mengambil orang yang ku cinta lagi. Ku menemuinya dalam keadaan lemah. Ku lihat dokter kebingungan, ku tanya. Dan ternyata.. dia kehilangan banyak darah setelah menyelamatkan aku. Aku mendonorkan darahku untuknya yang kebetulan golongan darah kami sama. Tubuh lemasku tak ku hiraukan. Jarum suntik pun menusuk dan mengambil darahku. Aku pun segera kembali keruanganku, dan beristirahat. Aku pun makan makanan yang dapat membuatku segar dan menambah tenagaku.
Dua hari berlalu, ia tak kunjung sadar. Hanya ada aktifitas dari gerakan tangannya, juga kelopak matanya. Aku terus mendonorkan darahku untuknya. Agar ia cepat pulih dan sadar. Hari ini entah aku bosan didalam ruangan, aku keluar dan mencari udara segar. Dipinggir jalan raya, ku lihat seorang anak kecil kesulitan untuk menyebrang jalan. Aku menghampirinya dan membantunya. Orang tuanya tak sadar bahwa anaknya tertinggal diseberang jalan. Setelah ku mengantar anak kecil itu kepada kedua orang tuanya. Aku kembali menyebrang hendak ingin balik ke rumah sakit. Ditengah perjalanan menyebrang. Sebuah mobil menabrak tubuhku hingga ku terhempas ke pinggir jalan dan ku rasakan nadi ini makin lemah untuk berdenyut dan jantung ini semakin perlahan berhenti.
Ku yakin, sekarang aku sudah tak ada di dunia lagi. Aku hanya bisa mengingat betapa aku mencintai seseorang yang tak pernah bisa menjaga hatinya untukku. Maaf mamah, papah. Aku pergi untuk selamanya, aku sudah gak kuat menahan perih dan penyakitku. Maaf juga papah, mamah.. aku pernah bohong soal sakit yang aku derita. Aku hanya gak ingin kalian khawatir. Sekarang kalian sendirian, tanpa aku. Dan aku yakin, Themy pasti menyesali betapa aku berharga untuknya. Dan sekarang mungkin dia sedang menonton rekaman aku bernyanyi di rumah sakit untuknya, ketika dia koma. Semoga kamu bahagia bersama wanita yang kau pilih. Selamat jalan, selamat tinggal untuk selamanya.
Tentang Penulis.
Nama : Hamidatul FathiahTempat, Tanggal lahir : Bekasi, 24-Desember-1994Hoby : Membaca, Menulis, dan berbuat sesuai kehendak hati/mood.Alamat : Kp. Pondok Ranggon Rt 06/03 no. 84 BekasiSekolah : SMK Yadika 11 Jatirangga, Bekasi.Program Keahlian : Teknik Komputer dan Jaringan